Wednesday, March 18, 2009

Menangis

Saya ambil tulisan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dari blog.sangsurya.com tentang makna spesifik dari surat Al-Fatihah dalam kehidupan kita dalam penghambaan kepada Allah SWT.

Semoga tulisan beliau ini bisa menjadikan kita senantiasa bisa benar-benar "iyyaka na'budu wa iyyaka nas ta'in"

-----

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bersholat malam.

Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat “iyyaka na’budu” Abah Latif biasanya lantas terhenti ucapannya, menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan. Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan “wa iyyaka nasta’in” .



Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
“Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar“, berkata Abah Latif seusai wirid bersama, “Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. ‘Harus’ di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakikat itu“.

“Astaghfirulloh, astaghfirulloh…“, gemeremang mulut para santri.

“Jadi, anak-anakku“, beliau melanjutkan, “apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Alloh ..iyyaka na’budu? ”

“Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Alloh itu sendiri, Abah?” bertanya seorang santri.

“Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan.”

“Belum jelas benar bagiku, Abah?”

“Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan.”

“Astaghfirulloh, astaghfirulloh..,” geremang mulut para santri.

Dan Abah Latif meneruskan, “Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na’budu. KepadaMu aku menyembah. Tetapi kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepadaMu kami menyembah, na’budu.”
“Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah.Ketika sampai di kalimat na’budu, tingkat yang harus kita telah capai lebih dari abdullah, yakni khalifatulloh.Suatu maqom yang dipersyarati oleh kebersamaan kamu muslim dalam menyembah Alloh di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan.Mengucapkan iyyaka na’budu dalam sholat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita kaum muslim telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Alloh.Maka anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapan kata-kata itu?”

“Astaghfirulloh, astaghfirulloh..,” gemeremang para santri.

“Al-fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatulloh di dalam berbagai hubungan kehidupan.Tangis kita akan sungguh-sungguh tak tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta’in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan.Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari.Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Alloh, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakikatnya melawan Alloh.”

“Astaghfirulloh, astaghfirulloh..,” geremang mulut para santri.

“Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis.Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu : airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya.”

(Emha Ainun Nadjib/”Seribu Masjid Satu Jumlahnya, Tahajjud cinta seorang hamba”/Mizan/1995/PmBNetDok)

Read More..

Thursday, March 12, 2009

Temanku Polisi

Saya ambil dari beranigagal.blogspot.com

Satu hal yang mungkin pernah kali kita lakukan dalam berkendara, yaitu melanggar lampu merah...

Kadang kepatuhan kita terhadap lampu-lalu-lintas hanya terbatas pada ada tidaknya polisi yang menjaga di area tsb.

Tulisan berikut ini bisa kita jadikan renungan, bahwa ternyata kepentingan kita (=ego kita) belum tentu berakibat baik buat yang lain...bahkan bisa berbahaya atau mengurangi kebahagiaan orang lain.

----------

Temanku Polisi....

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau.

Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang.

Lampu berganti kuning.

Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja.

"Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.

Prit!



Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti.

Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.

Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.Hati Jono agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"

"Hai, Jon." Tanpa senyum.

"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah."

"Oh ya?" Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.

"Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."

"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."

Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.

"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah.. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala."

Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

"Ayo dong Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu."

Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya.

Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu sedikit.

Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

"Halo Jono, Tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan.

Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini.

Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)".

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan... ....

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati. Drive Safely Guys..

Sumber: Anynomous
Read More..